Friday, August 10, 2012

(Catatan SasteraLapar) : Jilbab, Lemper, Bikang dan Semar Mendem

Sepuluh tahun yang lalu (sekarang 16 tahun) pada saat matakuliah Agama Islam, dosen Agama saya berkata begini :
Ibaratnya makanan, pemakai jilbab itu seperti lemper. Kenapa demikian? Karena untuk makan isi lemper kan harus dibuka dulu bungkusnya bukan? Masak ditelan sebungkus-bungkusnya? Sontak kami semua tertawa mendengarnya..Kemudian beliau melanjutkan..

Sedangkan kaum perempuan yang tidak berjilbab diibaratkan adalah kue bikang, dimana untuk menikmatinya nggak harus repot membuka bungkusnya, bahkan gampang kena debu dan pembeli bisa melihat langsung tanpa dibungkus. (edited)


Mendengar itu, spontan para perempuan yang tidak berjilbab pada mesam-mesem, sampai ada teman saya yang bilang setelah kuliah “Ayo para bikang, bersatulah” dan ditanggapi dengan geer oleh yang lain. 

Memang kalau dipikir-pikir, memakai jilbab itu sama dengan menutupi sebagian besar diri wanita, dan menjaga sipemakainya dari pandangan nakal serta menjaga kehormatan kaum wanita itu sendiri, dan ini pada dasarnya sama dengan lemper, makanan yang terbuat dari beras ketan (pulut) diisi dengan daging ayam dan dibungkus dengan dua lapis daun pisang, sehingga rasanya tetap terjaga dan bebas dari debu, dan membuat penasaran seperti apa bentuknya, karena lemper dibungkus daun pisang tidak tembus pandang (mana ada daun pisang transparan?)

Sedangkan bikang, pada prinsipnya sangat terbuka. Dijualnyapun kadang tidak ditutup, sehingga debu, lalat dan tangan-tangan pembeli yang kadang mengandung kumanpun bisa menempel pada permukaan kue tadi. Mungkin analogi bikang ini yang dipakai dosen Agama saya untuk menggambarkan perempuan yang berbusana kelewat terbuka. Sedangkan jilbab sendiri juga pemaknaannya berbeda-beda.

Namun pada saat sekarang ini, saya jadi bingung….lemper atau bikang ya sekarang ini. Anak muda sekarang makin banyak yang memakai kerudung atau jilbab, namun pada hakikatnya pemahaman mereka pada jilbab itu sendiri terdistorsi oleh trend hingga terlahir yang namanya kudung gaul  dimana pemakainya memakai kerudung, tetapi pakaian lainnya ketat satu nomor, barangkali baju adiknya dipakai, celana kadang model mlorot ala Britney, bahkan kadang jika membungkuk, celdalnya suka ikutan ngintip, dan bahkan kadang (tidak semua) sebagian berkelakuan lebih gila daripada kaum bikang

Ah, saya makin pusing…mereka ini tergolong lemper apa bikang ya? Dibilang lemper…ya kelihatan, dibilang bikang…kok yang masih ‘tertutup’. Akhirnya kesimpulannya para pemakai kudung gaul itu mirip dengan semar mendhem. Tau nggak semar mendhem? Isinya sama seperti lemper, hanya saja dibungkus dengan kulit dadar dan hanya tertutup plastik. Meskipun tidak terkena langsung oleh debu, toh juga tetap terlihat isinya…

Jadi kesimpulannya, analogi dosen saya 10 tahun silam (sekarang 16 tahun silam) ini benar adanya, pemakai jilbab (yang benar) memang kayak lemper, yang bukan pemakai jilbab disamakan dengan bikang, sedangkan yang terakhir…para pemakai kerudung namun telanjang ini disamakan dengan semar mendhem. Tertutup tapi terlihat….(maaf kalau kurang berkenan).


Bambang Priantono
31 Maret 2006
11 Agustus 2012
 
(gbr dibawah adalah Lemper, Bikang dan Semar Mendem)
Varning : Ini jurnal tentang pengalaman, semoga bisa diambil hikmahnya

No comments:

Post a Comment