Thursday, August 9, 2012

(Catatan SasteraLapar) : KRENGSENGAN NYAMBIK (BIAWAK)

Nyambik dalam bahasa Jawa Timuran artinya sama dengan biawak (Varanus Indicus). Ukurannya minimal 50 cm, dan panjang maksimalnya bisa sampai dua meter. Biasanya hidup di daerah tambak atau rawa-rawa maupun area pinggir sungai, karena makanan utamanya adalah hewan-hewan air dan ciri fisiknya sangat serupa dengan kerabatnya di pulau Komodo sana. 

Krengsengan juga adalah makanan khas Jawa Timur yang berupa daging dimasak dengan aneka bumbu hingga mengental dan berwarna kecoklatan, rasanya sangat lezat dan asalnya dari Pasuruan.

Waktu pertama kali ke Surabaya sekitar tahun 1995, saya tidak punya gambaran sekalipun ketika orang-orang menyebut kata nyambik. Saya pikir malah itu seperti bahasa makian ataulah apa sehingga cuek beibeh aja gitu loh.

Nah, saya baru benar-benar mengerti makna nyambik ini ketika saya masih mengajar di sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Pas saya menunggu jam mengajar di ruang TU, ada seseorang yang masuk sambil membawa sebuah kotak plastik yang isinya daging berwarna putih seperti daging ayam. Dengan petugas TU-nya saya bertanya :
“Pak, orang itu bawa daging apa?”
“Oh, itu bawa daging nyambik…”
Nyambik itu apa?” tanya saya kurang paham.
“Yang di kali-kali (sungai-red) itu lho Pak”
Saya seketika langsung paham, oh,….yang dibicarakan selama ini toh. Biawak! Terus dengan rasa penasaran masih membuncah, saya tanya kepada staf tadi.
“Yang pesan siapa, Pak?”
“Dosen-dosen sini”
“Enak?”
“Katanya sih enak, kayak daging ayam begitu”
Pak TU tadi kemudian mengatakan bahwa dosen-dosen disini kadang memesan daging nyambik dari beberapa orang yang dibayar untuk menangkap dan mengulitinya, untuk kemudian dibawa dalam bentuk daging segar. Alasannya untuk menjaga kebugaran dan…kabarnya, daging nyambik ini bisa dibuat untuk meningkatkan vitalitas serta –sepurane, rek- gairah seksual. Hehehehehe.

Untuk menangkapnya juga gampang-gampang susah, karena harus dipancing dengan daging segar dulu di lubang tempat dia biasa bersarang. Setahu saya, kawasan ITS juga merupakan kawasan pemukiman kaum kerabat komodo ini, karena disamping masih banyak alang-alang, juga dekat dengan kawasan tambak. Jika ingin menangkapnya, tali pancing haruslah dari senar gitar yang kuat agar tidak putus jika tergigit, karena gigitan nyambik sangatlah kuat meski tidak beracun macam Komodo. Mengulitinyapun perlu kesabaran karena kulitnya yang super keras dan liat. Entah mitos apa yang membuat orang menyukai daging hewan satu ini, dan tidak ada undang-undang perlindungannya…barangkali karena jumlahnya yang masih sangat banyak ya….

Sedang kulit nyambik sendiri juga diisi dengan sabut kelapa atau apalah untuk dijadikan cenderamata di jalanan, seperti yang pernah saya temui di kawasan Tunjungan, banyak cenderamata dari hewan ini yang dijual, dengan kisaran rata-rata 50.000 rupiah dengan ukuran panjang 50 cm. 

Jika saya perhatikan, memang ukuran biawak kota dan biawak hutan berbeda. Biawak yang hidup di perkotaan (ciee) ukurannya lebih kecil dibanding biawak hutan. Barangkali karena penyesuaian diri saja ya, sehingga mereka ukurannya kecil. Dan lucunya, seorang teman pernah cerita kalau rumah tetangganya menjadi sarang nyambik, entah darimana datangnya. 

Nyambik alias Biawak ini juga menjadi makanan favorit para supir truk, terutama yang melintasi kawasan Krian-Balongbendo dimana di wilayah Balongbendo terdapat sebuah warung yang khusus menjual krengsengan nyambik, artinya daging biawak dibumbui dan dimasak seperti nasi krengsengan. Katanya juga berkhasiat seperti jamu.

Saya pernah mengerjai murid saya di sebuah perusahaan catering –termasuk teman kantor dengan menulis menu-menu restoran khayalan, tentunya dengan bahan utama daging nyambik, yang saya lakukan saat iseng saya kumat. Seperti menyingkat nyambik menjadi bixtro, bix ala mode, bix steak dan seterusnya dengan minuman yang isengnya saya beri nama Carmen electra (campuran extra joss, Viagra dan hemaviton), plus jus kulit durian, lucunya manajer perusahaan catering itu sampai percaya dengan guyonan yang saya sebarkan di e-mail itu sampai tanya pada saya dimana letak restorannya. Padahal jelas-jelas alamatnya saja alamat bohong-bohongan. Ya ampyuuunn!!!!
Setelah diberitahu, akhirnya si manajer malu sendiri dan semuanya tertawa pada akhirnya, wah berarti aksi guyon saya sukses dong…

Weleh, kalau saya pribadi melihatnya saja sudah jijik, karena notabene nyambik alias biawak ini kan jenis reptilia yang tidak boleh dimakan (jika berkait dengan agama yang saya anut). Namun namanya juga manusia, mitos-mitos khususnya yang terkait dengan seksualitas –khususnya- selalu mengorbankan binatang dan yang jadi sasaran adalah binatang-binatang yang nyeleneh. Entah cula badaklah, kelamin macanlah, ,empedu ular kobra, daging ular goreng dan sampai pada krengsengan nyambik alias biawak. Tapi sekali lagi, itu berpulang pada individu yang menikmatinya, apakah dia meyakini atau tidak mitos yang digulirkan tersebut. 

Senyampang masih ada yang meminta, pastilah krengsengan nyambik alias biawak ini akan menjadi favorit atau apapun bentuknya (digoreng kek, direbus kek, ditumis kek) dan akan terus ada. 

Ah, celoteh soal biawak ini kadang suka bikin saya tertawa-tawa sendiri jika mengingatnya. Bagaimana saya mengerjai banyak orang dengan restoran daging nyambik tadi, bagaimana ketidak tahuan saya pada awalnya tentang hewan ini dan seterusnya.

Krengsengan Nyambik for the Soul? Tergantung anda…..

Kubagikan cerita ini agar kau dapat mengambil hikmahnya.


Bambang Priantono
 24 Maret 2006
Ditulis kembali dari mulpid
9 Agustus 2012

2 comments: