Thursday, August 9, 2012

(Catatan SasteraLapar) : Rujak Cingur For The Soul


Bila ke Surabaya jangan lupa rujak cingur
Rasa khasnya telah harum namanya
Jika engkau suatu saat jatuh tersungkur
Bangkit kembali itulah intinya
Paduan antara yang enak dan yang tidak enak itulah yang menjadi pemadu khas rujak cingur, salah satu makanan khas Surabaya (dan Jawa Timur). Potongan hidung sapi (cingur) rebus –padahal cingur kan kesannya menjijaykan toh, aneka buah dan sayuran dipadukan dalam bumbu kacang plus petis mengubah satu jenis makanan yang nampak menjijikkan menjadi kelihatan lezat.

Makan rujak cingur sangatlah nikmat, apalagi jika dimakan ditepi jalan raya, atau dimanapun kita suka. Diiringi dengan musik jalanan atau hanya dimakan bersama keluarga. Sangat membuai dan yang menjadi ciri khasnya adalah rasa petisnya yang menonjol serta cingur (hidung sapi) yang nyaris tidak kentara karena tertutup oleh sayuran lainnya. 

Rasa rujak cingur ini terkadang membuai diri kita hingga ke awang-awang, kadang dalam kehidupan kita bisa terbuai dengan berbagai macam kemilau bak para laron desa yang akan mengerubungi setiap lampu yang menyala di perkotaan, dimana mereka tidak menyadari akan bahaya yang bisa mengancam atau kesulitan yang menghadang di depannya. 

Ini maksudnya bak memakan rujak cingur, tidak selalu semua bagiannya terasa enak. Saya sendiripun mengalami hal tersebut, seperti beberapa hari yang lalu, saya mendapat ‘cubitan’ dari koordinator saya, bahwa dari sekian kelas yang diberi polling, sebagian besar menyatakan bahwa saya kurang menyenangkan, kurang ini dan kurang itu bahkan ada mungkin beberapa mahasiswa yang memberi komentar paling pedas, namun saya tidak perlu tahu. 

Dari beberapa kelas yang anda ajar, hanya satu kelas yang menganggap anda terbaik
Mungkin perlu dikoreksi lagi
Saya percaya anda bisa mengatasinya dan semuanya saya serahkan pada anda. Karena jika satu kena masalah, maka semuanya akan kena juga.
Saya sendiri sebenarnya dalam hati sedih, ibarat tanpa sengaja tergigit oleh cabai pedas yang ada dalam rujak cingur tersebut. Jujur barangkali airmuka saya langsung berubah, meskipun koordinator meminta saya untuk tidak berpikir negatif atas semua kejadian itu.

Untuk beberapa saat saya sempat diam (ibaratnya masih terkena pedasnya cabai), dan menyendiri selama beberapa saat. Namun kemudian ibarat waktu berjalan ditambah dengan masukan dari teman terdekat yang ibaratnya air dingin untuk penawar rasa pedas, maka saya sedikit demi sedikit mulai berpikir lagi. Apa sih yang salah dalam diri saya? Bahkan ada dialog antara saya dan seorang teman yang intinya begini

Teman : Tidak apa-apa, Pak. Itu bukan persoalan yang besar. Toh hal itu sifatnya sangat subyektif
Saya : Iya sih, tapi tak urung membuat saya drop juga
Teman : Mereka yang menilai hanya melihat dari satu sisi saja, bukan dari sisi yang lain.
Saya : Hmm,…barangkali saya perlu melakukan pendekatan lagi pada mereka
Teman : Bisa jadi demikian Pak, mungkin mereka perlu didekati. Dan lagipula, mereka juga masih anak-anak. Saya yakin setiap dosen juga pernah mengalami hal yang sama, bahkan lebih buruk daripada anda sendiri. Dan saya belajar dari kejadian buruk yang menimpa anda
Saya : Oh ya?
Teman : Iya, mungkin saat ini saya belum ada masalah. Tapi anda beruntung, karena menemui masalah itu sekarang, sehingga kalau ada hal serupa tidak akan kaget lagi. Bisa jadi kelak saya atau dosen lain akan menghadapi hal lebih buruk dari anda.
Saya : Yah, semoga saja saya bisa mengatasinya.
Teman : Ingat, God allows it happened, Tuhan mengijinkan ini terjadi. Mungkin Tuhan mempersiapkan sesuatu yang lebih besar lagi dengan menguji anda seperti ini. Teman saya (dosen baru) kagum dengan anda sebetulnya
Saya : Ah, masak?
Teman : Dia bilang pada saya, kalau dibandingkan dengan kelas lain yang diobservasinya, kelas saya lebih hidup sehingga menginspirasi dia untuk mengajar model seperti itu. Jadi, masalah tadi bukanlah akhir segala-galanya, karena mungkin Tuhan ingin menguji anda dengan cara ini.

Dialog yang terjadi Senin sore itu, setidaknya seperti air es yang menyejukkan setelah lidah saya ‘kepedasan’ akibat tergigit cabai. Memang saya kecewa dengan jajak pendapat seperti itu, karena sifatnya sangat subyektif. Sebagaimana manusia pada umumnya yang kadang hanya melihat dari satu sudut pandang, lebih-lebih dari mahasiswa yang notabene masih ingin bersenang-senang. Ditambah dengan kecapaian mereka setelah mengikuti mata kuliah yang berat sebelumnya. Saya sempat berpikir negatif, karena pada dasarnya saya orang yang sangat sensitif. Tetapi, sekali lagi saya tersadar kalau semua itu memang ujian bagi saya untuk memperbaiki diri, dengan mempertahankan keunikan saya sendiri. 

Memperbaiki diri dalam artian berusaha mendekati mereka secara benar, mendengarkan aspirasi mereka, agar mereka tidak lagi menganggap saya ini dan itu. Semua masukan bagi saya, insyaallah diterima dengan legowo (lapang dada), namun masukan yang sifatnya merusak tetap akan saya abaikan. Karena jika saya turuti semuanya, artinya saya bukan diri saya lagi. Saya kehilangan jati diri saya sebagai seorang Bambang Priantono. Barangkali komunikasi inilah yang perlu saya tingkatkan agar mahasiswa merasa senang berada dikelas saya.

Alhamdulillahnya, dari pahitnya sayuran, pedasnya cabai dan asamnya nanas dalam rujak cingur ini saya belajar lagi, belajar untuk menangani kasus yang berbeda-beda. Mungkin saya bukan orang yang sempurna, namun setidaknya saya ingin semuanya bekerjasama sehingga terjadi sinergi antara dosen dan mahasiswa. Dari sini juga saya sadar bahwa Allah Maha Mengijinkan Semuanya terjadi. Kun Fayakun, jadi…jadilah! Sebagaimana Siti Maryam mengandung Nabi Isa Alaihi Salam.
So, inilah Rujak Cingur for the soul saya (dan juga anda)…ibaratnya rujak cingur tadi, nikmatnya bumbu rujak, empuknya cingur sapi (kadang getir), pedasnya cabai, pahitnya sayuran dan asamnya buah-buahan sudah mulai saya nikmati dengan perasaan lebih tenang. Meskipun rasa sedih itu belum bisa sepenuhnya menghilang, pasti anda jika dikritik sedih bukan dilubuk hati terdalam? Anggap saja anda sedang kepedasan pas makan rujak cingur karena setelahnya pasti rasa enak yang dinikmati.
Yah, itulah romantika…dan God allows it happened

Bambang Priantono
23 Maret 2006
Ditulis Ulang 10 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment