Friday, August 10, 2012

(Cerita SasteraLapar) : Cerita dari Sebungkus Quaker Oats



Waktu saya sedang berbelanja (membeli belah) di sebuah pasar swalayan (supermarket), saya beli quaker oats 500 gram warna merah dan yang menarik saya adalah tulisan dikemasan depannya yakni oat segera dan oat instan. Yang saya yakini bagian segera itu Malaysia punya sedang bagian instan adalah punya Indonesia. Lalu saya baca-baca lagi bagian belakang kemasannya ada kata lemak taktepu  dan lemak tepu , yang ada kurung bahasa Indonesianya berarti lemak tak jenuh dan lemak jenuh. Selanjutnya ada istilah khasiat dimana dalam bahasa Indonesia padanannya adalah gizi, sedang kata khasiat sendiri dalam bahasa Indonesia secara artinya lebih mengacu pada jamu-jamuan atau obat-obatan (ubat). 

Semisalnya kalimat berikut :
Jamu galian singset berkhasiat untuk menurunkan berat badan.
Khasiat obat generik tidak kalah dengan obat-obatan paten.
Lalu, kata gizi  contohnya sebagai berikut :
Dewasa ini, banyak balita di Indonesia yang mengalami gizi buruk.
Kandungan gizi dalam sepiring nasi pecel sangatlah tinggi.
 
Sewaktu saya membaca bagian Malaysianya, memang ada sedikit kelucuan karena kata khasiat tadi….awalnya saya pikir “emangnya jamu?”. Kemudian juga dalam istilah-istilah ilmiahnya, terutama dalam zat-zat yang terkandung dalam Quaker Oats tadi, cenderung tetap pada bentuk aslinya, sedangkan dalam bahasa Indonesia sedikit mengalami perubahan khususnya dalam pelafalan dan ejaan, misalnya folid acid  menjadi asam folat. Kemudian kata instant, yang ini sering memusingkan karena di Malaysia kata ini padanannya adalah segera  dan barangkali ketepatan yang sama bisa (boleh) digunakan kata cepat saji. Apa tidak mungkin Bahasa Indonesia mengganti kata instan tadi dengan cepat saji? Saya rasa itu mungkin kok, hanya saja kita-kita terlalu malas untuk mencarinya. Betul, bangsa kita terlalu MALAS untuk mencari kata-kata asli!!!

Dari kemasan Quaker Oats itu juga saya mempelajari perbedaan-perbedaan yang kentara antara bahasa Indonesia dengan Melayu Malaysia. Disatu sisi Melayu Malaysia bisa lebih “asli” dibandingkan kita, namun disisi lain bahasa Indonesia justru bisa jauh lebih “asli”. 

Nah, memang ada kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia soal bahasa baku bahkan sampai ejaannya pada tahun 70an, bahkan sempat muncul istilah Malindo. Namun bagi saya, hingga detik ini titik temu itu masih harus terus dicari, karena kedua bahasa seinduk ini berkembang sendiri-sendiri, terlebih bahasa Indonesia yang bisa menyerap bahasa-bahasa daerah sekitarnya, demikian pula bahasa Melayu Malaysia. Masuknya bahasa Inggris dalam kosakata kedua bahasa juga kadarnya berbeda-beda, bahasa Indonesia masih lebih “sedikit” serapan bahasa Inggrisnya jika dibandingkan dengan bahasa Melayu Malaysia.

Selain itu, pembakuan antara kedua bahasa ini juga harus dikajiulang. Barangkali seperti bahasa Inggris (antara gaya Inggris dan gaya Amerika) yang menemukan titik temu meski tetap berbeda. Kondisi kedua bahasa seinduk (Indonesia dan Melayu Malaysia) ini hampir sama dengan bahasa Portugis Eropa dan Portugis Brazil yang akhirnya pola penulisannyapun dijumpai perbedaan. Ini yang perlu disikapi bersama.

Kemasan Quaker Oats cepat saji yang saya beli ini saja sudah bercerita banyak tentang jalan keluar mengatasi perbedaan bahasa tersebut. Ada tanda kurung yang menunjukkan padanan bahasa Indonesianya, dan ini sangat membantu bagi siapapun yang tidak mengerti bahasa Inggris serta menunjang untuk memahami bahasa Melayu Malaysia meski dari segi tulisan. Tidak perlu kita  sungkan-sungkan untuk meminjam istilah dari Malaysia jika dirasa perlu, karena bahasa Melayu Malaysia juga tidak sedikit mengambil kosakata dari bahasa Indonesia.
Agar bisa semakin kaya lagi, saya kira Pusat Bahasa Indonesia jangan malas-malas untuk mencari kosakata baru sebagai pengganti istilah asing, saya tidak ingin bahasa kita semakin tercemar dengan terlalu banjirnya kata-kata Inggris (biarkan saja pilihan kata saya tidak ilmiah, yang penting berusaha tetap “Indonesiawi”), yakni sebelum memasyarakatkan suatu kata baru, sebaiknya perlu diujicobakan dalam dewan bahasa sendiri dan media juga seharusnya lebih membantu memasyarakatkan kata-kata baruan asli Indonesia, jangan hanya istilah asing belaka yang dikenalkan dengan alasan mudah dipahami atau lebih gaya atau keren (gerek; cool). Ingat, bahasa ada jatidiri suatu bangsa. Meminjam boleh asal jangan berlebihan, apalagi untuk bahasa baku…itu saja.
Nah, cerita dari sebungkus Quaker Oats ini barangkali bisa dijadikan renungan tentang benang merah antara bahasa Indonesia dan Melayu sebagai bahasa seinduk yang bersaudara.

Bambang Priantono
19 Mei 2006
11 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment