Friday, July 27, 2012

(Sastera Lapar Cerita) : Yang Sedap dari Wonosobo

Setiap orang mempunyai tujuan yang berbeda ketika melakukan perjalanan ke suatu tempat. Mulai dari sekedar ‘mbolang’, memuaskan dahaga belanja baik oleh-oleh khas sampai benda-benda bergengsi yang sebenarnya ditempat dia ada dan lebih murah, hingga tentunya cicip-cicip masakan khas setempat.  Ada yang suka jalan-jalan tapi tidak suka menjelajah lidah, yah..tentunya itulah keragaman hidup. Saya termasuk jenis yang lumayan suka jelajah lidah (tentunya yang sesuai dengan keyakinan saya), toh itu hak asasi manusia, hehehehe.



Perjalanan ke Wonosobo ini juga diperkaya dengan menjajal beberapa jenis makanan khas sana. Di Alun-Alun kota Wonosobo yang asri nan sejuk, saya mencoba dua jenis makanan yang jadi ikon kota tersebut seperti Mie Ongklok dan Sate jamur. Untuk mie ongklok sendiri saya sampai makan dua kali, yang pertama tentunya di pinggir alun-alun kota, dan kedua di sebuah warung namanya Longkrang yang letaknya tidak seberapa jauh dari rumah Bimo. Cara penyajiannyapun saya lihat, mulai dari menaruh potongan tahu di dasar mangkok, kemudian disiramkan mie yang bercampur dengan kuah kental, entah dari apa bahannya. Campurannya ada potongan kol, dan sayuran serta kemudian ditaburi merica.  Kalau di warung Longkrang itu disiapkan juga cabai yang dirajang sangat halus, jadi bila merasa kurang pedas bisa ditaburkan sekalian.

Rasanya sedap, hanya berhubung lidah saya lidah Jawa Arekan, maka Mie Ongklok ini terasa terlalu manis buat saya. Namun setidaknya kenikmatannya tidak berkurang, sekalian melatih kepekaan lidah. Oh iya, sempat ada kejadian heboh saat saya dan Bimo makan Mie Ongklok di warung Longkrang. Tiba-tiba terdengar seperti orang terjatuh diruangan belakang kami. Suaranya lumayan keras, dan kemudian para pelayan bergegas masuk ke dalam. Tak lama terdengar suara riuh dan ada kata “Wonge tibo”, “muntah…muntah…”, “mesakena”, dan sisanya tidak jelas. Mungkin ada pelayan yang jatuh sampai pingsan.  Kalau di Warung Longkrang, satu porsi Mie Ongklok tanpa tambahan lauk seperti sate ayam dan kawan-kawan plus teh hangat harganya Rp 6000,-. Sedangkan yang di tepi alun-alun harganya juga sama, cuma berhubung saya tidak pakai minum maka jatuhnya jadi Rp 4000,-. Saya lupa Tanya harga satenya berapa, ya mungkin kira-kira seribuan per tusuk.

Sementara kalau sate jamur ya itu tadi, saya menikmatinya di alun-alun kota. Jamurnya disusun-susun seperti daging dan diberi bumbu kunyit, sehingga warnanya nampak kekuningan. Kemudian dioleskan ke bumbu kecap yang sudah disiapkan dan dibakar sampai coklat-coklat gosong (tergantung selera juga sih), disajikan dengan/tanpa lontong, ditaburi bawang goreng dan cabai cincang. Rasanya memang sekilas mirip sate ayam, hanya tekstur jamurnya lebih mirip lemak sapi dan lebih kenyil-kenyil. Cocok bagi yang vegetarian karena sama sekali tidak melibatkan unsur hewani didalamnya.  Jamurnya sendiri juga mudah diperoleh, dan yang cocok untuk sate jamur adalah jenis jamur tiram.

Tentu yang tak lupa adalah tempe kemul. Sekilas memang mirip mendoan, namun ternyata yang membuatnya terlihat besar adalah tepung yang menyelimuti tempenya, sehingga terkesan sang tempe diselimuti oleh lapisan tepung yang besar. Mungkin dari situ nama tempe kemul diperoleh. Bedanya lagi, tempe kemul lebih kering dan renyah. Cemilan ini dapat dengan mudah ditemui diberbagai sudut kota Wonosobo, warnanya yang kuning cerah sudah menjadi penanda khas dari tempe ini. Untuk Carica, sayangnya saya memang belum sempat menikmati. Nanti-nanti pasti ada kesempatan untuk kesana lagi. Masih banyak yang harus dijelajah.



Sastera Lapar
8 Mei 2012
Semarang
*Pindahan dari Catatan di Multiply*

No comments:

Post a Comment