Pembauran
itu artinya melebur, campur baur jadi satu, menyesuaikan diri atau apa
ada makna lainnya? Ibaratnya lagi, pembauran itu mirip sekali dengan
proses masak memasak didapur, seperti membuat gado-gado, bubur ayam,
rujak, salad, pecel, atau bubur manado, dimana semua jenis makanan yang
pada dasarnya berbeda dileburkan menjadi satu jenis makanan baru.
Gado-gado
misalnya, dalam satu piring terdiri dari potongan wortel, kacang
panjang, tahu goreng, kentang rebus, sawi segar, ketimun, ditambah
kerupuk, emping belinjo, tempe, plus bawang goreng diikat dengan saus
kacang yang enak, dan masih ditambah dengan potongan telur rebus pula.
Meski tidak melebur total, namun tetap menjadi wujud yang sedap
dipandang dan menggoyang lidah.
Jika dikaitkan dengan pembauran, saya jadi ingat bahwa Amerika Serikat disebut sebagai melting pot,
yang jika diterjemahkan kasar artinya “bejana peleburan”, dimana bila
dikaji lebih dalam lagi adalah semua bangsa didunia yang mempunyai
impian Amerika dibaurkan menjadi satu bangsa, yakni bangsa Amerika.
Konsep melting pot ini juga
terlihat pada makin derasnya pendatang dari berbagai penjuru dunia, baik
dengan cara halal maupun haram, dengan harapan satu…mencapai mimpi
disana. Pengembangan konsep ke-Amerika-an juga diterapkan agar setiap
warga Amerika merasa memiliki negaranya apapun asal usulnya. Akan
tetapi, meski dianggap berhasil, namun masih banyak gumpalan-gumpalan
yang tidak berhasil dileburkan dalam mangkok raksasa itu. Kenyataan yang
tak terbantahkan bahwa masyarakat Amerika sendiri tidak semuanya mampu
melebur jadi satu.
Disamping itu, ada juga istilah Salad bowl alias
mangkok selada, dimana terdapat berbagai bangsa dalam satu wilayah,
satu negara, namun dalam kehidupan sehari-harinya tidak terjadi
pembauran. Setiap kelompok hanya bergerombol dengan kelompoknya sendiri,
pertemuan dengan kelompok lainnya hanya terjadi pada saat tertentu dan
bila memang diperlukan. Banyak sekali negara yang keadaan sosialnya
seperti salad, hanya diikat oleh minyak salad belaka, bukan saus pulau seribu (thousand island sauce).
Salah satu contoh barangkali adalah Suriname, dimana didalam negara itu
terdapat 3 etnis utama yakni India, Kreol dan Jawa…satu negara, namun
tetap hidup sendiri-sendiri. Demikian pula dengan keadaan di negeri
jiran kita Malaysia, dimana antar kelompok baik Melayu, Cina dan India
seolah hidup sendiri-sendiri dengan proses peng-Inggris-an
yang makin mendesak bahasa Melayu disana. Sehingga saya melihat kesan
mangkok selada disana. Sepertinya bercampur, padahal hakikatnya tidak
juga.
Sedangkan
di Indonesia sendiri, pembauran sudah lama diterapkan. Bahkan dengan
politisasi pemerintah Orde Baru, kelompok minoritas terutama Cina harus
membaur dengan masyarakat pribumi. Mereka juga sejak tahun 1966 dilarang
membangun sekolah Cina, berita-berita berbahasa Cina dan bahkan
kebudayaan Cina sendiri juga tidak diperkenankan sampai pasca reformasi.
Sebagaimana keturunan India di Sumatera Utara yang dilarang merayakan Deepavali hingga
tahun 1998. Namapun (terutama keturunan Cina) harus diganti dengan nama
Indonesia, yang pada perkembangannya selain mengambil nama-nama Jawa,
juga meng-Indonesia-kan nama Cinanya sendiri. Nasionalisme juga menjadi
isu utama bagi masyarakat Cina, karena mereka sudah lama dianggap
sebagai kelompok eksklusif oleh warga pribumi dan acap jadi sasaran
tindak kekerasan, dipersulit kewarganegaraannya padahal mereka sudah
tinggal di negeri ini selama bergenerasi-generasi, hingga perlakuan tak
menyenangkan lainnya dari berbagai pihak. Sebagian memang ada yang
melarikan diri, namun mayoritas tetap bertahan dan bangkit dari
keterpurukannya serta semangat untuk menjadi bagian dari anak negeri.
Meskipun
mulai ada kebangkitan budaya Cina di Indonesia, namun secara batiniyah
mayoritas mereka sudah tidak terikat lagi dengan tanah leluhurnya.
Bahkan bisa jadi pembauran menampakkan hasilnya, meski dalam bentuk
begini suku bolehlah Cina/ Tionghoa, namun negara tetaplah Indonesia.
Sebenarnya juga tanpa pembauran sistematis oleh Orbapun, etnis Cina
sudah mengalami pembauran yang cukup besar. Mayoritas mereka sudah tidak
bisa berbahasa Cina, malah khususnya orang Cina di Jawa Tengah dan Jawa
Timur menggunakan bahasa Jawa, Melayu Peranakan Cina (dialek Semarang
atau Surabaya yang tercampur Jawa), atau bahasa Madura bahkan. Pola
makannyapun sudah tidak begitu Cinawi lagi, merekapun suka makan soto,
pecel, gado-gado dan karedok leunca, bahkan menyumbang dari segi budaya
yang memperkaya khazanah hidup bangsa, ibaratnya dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Sekali
lagi, pembauran ibaratnya memasak. Tergantung siapa kokinya, jika
kokinya, semisal menyatukan antara coklat pahit dengan coklat putih
untuk menghasilkan permen coklat dwiwarna. Warnanya beda, namun rasanya
tetap sama…coklat. Atau membuat bubur manado, dimana semua bahan sayuran
lebur dalam samudera bubur, meski tidak semuanya hilang, jika mengikuti
konsep melting pot masih ada
gumpalannya. Bisa jadi juga si koki hanya membuat salad, mencampurkan
begitu saja aneka sayur dan buah dan menambahkan minyak salad sekedarnya
saja. Kesimpulannya, tergantung kebijakan dan keadaan sosial masyarakat
setempat..karena itulah kokinya.
Disamping
itu, pembauran juga akan berjalan jika masing-masing pihak dalam suatu
wilayah sudah merasa saling memiliki daerah tempat dia tinggal dan jika
masing-masing memang ingin menyatukan diri agar dapat diterima oleh kaum
dia bermukim juga. Namun yang sering menjadi hambatan adalah sikap
individualis sebagai akibat politik pecah belah (devide et impera) yang
terjadi di masa-masa penjajahan, sehingga prasangka masih melekat erat
di masing-masing pihak. Jadi jika ingin pembauran berlangsung sukses,
diperlukan sikap tidak berpurbasangka terhadap golongan lain.
Kalau
di Indonesia sendiri sih, sebenarnya lebih mirip sepiring gado-gado
ketimbang mangkok salad…dimana berbagai suku bangsa diibaratkan sebagai
sayurannya, sedangkan bahasa Indonesia, kebangsaan Indonesia, tanah air Indonesia
diibaratkan sebagai saus kacangnya. Tetap mempertahankan jatidirinya
masing-masing, apapun sukunya (Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Papua,
Bugis, Cina, Arab, dst), budayanya, agamanya, pemahamannya, namun tetap
dalam satu pandangan…pandangan kebangsaan sebagai seorang warga negara
Indonesia, yang memprihatinkannya kian meluntur terutama di kalangan
anak muda sekarang sebagai dampak dari globalisasi
yang berusaha menjadikan dunia sebagai bejana raksasa. Proses pembauran
tetap berjalan seiring zaman, dan akan berjalan secara alami
(semulajadi kalau istilah Malaysianya), apa dalam bentuk melting pot ataukah salad bowl.
Pembauran itu ibaratnya sepiring gado-gado
Tidak bisa dipaksakan menyatu dan meleleh
Unsur-unsur pembentuknya tetap berbeda
Namun bersatu karena saus kacangnya
Yang harus dipertahankan bestari
Agar tetap lezat dan bergizi….
Bambang Priantono
31 Maret 2006
11 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment