Nyambik dalam
bahasa Jawa Timuran artinya sama dengan biawak (Varanus Indicus).
Ukurannya minimal 50 cm, dan panjang maksimalnya bisa sampai dua meter.
Biasanya hidup di daerah tambak atau rawa-rawa maupun area pinggir
sungai, karena makanan utamanya adalah hewan-hewan air dan ciri fisiknya
sangat serupa dengan kerabatnya di pulau Komodo sana.
Krengsengan juga
adalah makanan khas Jawa Timur yang berupa daging dimasak dengan aneka
bumbu hingga mengental dan berwarna kecoklatan, rasanya sangat lezat dan
asalnya dari Pasuruan.
Waktu pertama kali ke Surabaya sekitar tahun 1995, saya tidak punya gambaran sekalipun ketika orang-orang menyebut kata nyambik. Saya pikir malah itu seperti bahasa makian ataulah apa sehingga cuek beibeh aja gitu loh.
Nah, saya baru benar-benar mengerti makna nyambik ini
ketika saya masih mengajar di sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Pas
saya menunggu jam mengajar di ruang TU, ada seseorang yang masuk sambil
membawa sebuah kotak plastik yang isinya daging berwarna putih seperti
daging ayam. Dengan petugas TU-nya saya bertanya :
“Pak, orang itu bawa daging apa?”
“Oh, itu bawa daging nyambik…”
“Nyambik itu apa?” tanya saya kurang paham.
“Yang di kali-kali (sungai-red) itu lho Pak”
Saya
seketika langsung paham, oh,….yang dibicarakan selama ini toh. Biawak!
Terus dengan rasa penasaran masih membuncah, saya tanya kepada staf
tadi.
“Yang pesan siapa, Pak?”
“Dosen-dosen sini”
“Enak?”
“Katanya sih enak, kayak daging ayam begitu”
Pak
TU tadi kemudian mengatakan bahwa dosen-dosen disini kadang memesan
daging nyambik dari beberapa orang yang dibayar untuk menangkap dan
mengulitinya, untuk kemudian dibawa dalam bentuk daging segar. Alasannya
untuk menjaga kebugaran dan…kabarnya, daging nyambik ini bisa dibuat untuk meningkatkan vitalitas serta –sepurane, rek- gairah seksual. Hehehehehe.
Untuk
menangkapnya juga gampang-gampang susah, karena harus dipancing dengan
daging segar dulu di lubang tempat dia biasa bersarang. Setahu saya,
kawasan ITS juga merupakan kawasan pemukiman kaum kerabat komodo ini,
karena disamping masih banyak alang-alang, juga dekat dengan kawasan
tambak. Jika ingin menangkapnya, tali pancing haruslah dari senar gitar
yang kuat agar tidak putus jika tergigit, karena gigitan nyambik sangatlah
kuat meski tidak beracun macam Komodo. Mengulitinyapun perlu kesabaran
karena kulitnya yang super keras dan liat. Entah mitos apa yang membuat
orang menyukai daging hewan satu ini, dan tidak ada undang-undang
perlindungannya…barangkali karena jumlahnya yang masih sangat banyak
ya….
Sedang kulit nyambik sendiri
juga diisi dengan sabut kelapa atau apalah untuk dijadikan cenderamata
di jalanan, seperti yang pernah saya temui di kawasan Tunjungan, banyak
cenderamata dari hewan ini yang dijual, dengan kisaran rata-rata 50.000
rupiah dengan ukuran panjang 50 cm.
Jika
saya perhatikan, memang ukuran biawak kota dan biawak hutan berbeda.
Biawak yang hidup di perkotaan (ciee) ukurannya lebih kecil dibanding
biawak hutan. Barangkali karena penyesuaian diri saja ya, sehingga
mereka ukurannya kecil. Dan lucunya, seorang teman pernah cerita kalau
rumah tetangganya menjadi sarang nyambik, entah darimana datangnya.
Nyambik alias
Biawak ini juga menjadi makanan favorit para supir truk, terutama yang
melintasi kawasan Krian-Balongbendo dimana di wilayah Balongbendo
terdapat sebuah warung yang khusus menjual krengsengan nyambik, artinya daging biawak dibumbui dan dimasak seperti nasi krengsengan. Katanya juga berkhasiat seperti jamu.
Saya
pernah mengerjai murid saya di sebuah perusahaan catering –termasuk
teman kantor dengan menulis menu-menu restoran khayalan, tentunya dengan
bahan utama daging nyambik, yang saya lakukan saat iseng saya kumat. Seperti menyingkat nyambik menjadi bixtro, bix ala mode, bix steak dan seterusnya dengan minuman yang isengnya saya beri nama Carmen electra (campuran extra joss, Viagra dan hemaviton), plus jus kulit durian,
lucunya manajer perusahaan catering itu sampai percaya dengan guyonan
yang saya sebarkan di e-mail itu sampai tanya pada saya dimana letak
restorannya. Padahal jelas-jelas alamatnya saja alamat bohong-bohongan.
Ya ampyuuunn!!!!
Setelah
diberitahu, akhirnya si manajer malu sendiri dan semuanya tertawa pada
akhirnya, wah berarti aksi guyon saya sukses dong…
Weleh,
kalau saya pribadi melihatnya saja sudah jijik, karena notabene nyambik
alias biawak ini kan jenis reptilia yang tidak boleh dimakan (jika
berkait dengan agama yang saya anut). Namun namanya juga manusia,
mitos-mitos khususnya yang terkait dengan seksualitas –khususnya- selalu
mengorbankan binatang dan yang jadi sasaran adalah binatang-binatang
yang nyeleneh. Entah cula
badaklah, kelamin macanlah, ,empedu ular kobra, daging ular goreng dan
sampai pada krengsengan nyambik alias biawak. Tapi sekali lagi, itu
berpulang pada individu yang menikmatinya, apakah dia meyakini atau
tidak mitos yang digulirkan tersebut.
Senyampang
masih ada yang meminta, pastilah krengsengan nyambik alias biawak ini
akan menjadi favorit atau apapun bentuknya (digoreng kek, direbus kek,
ditumis kek) dan akan terus ada.
Ah,
celoteh soal biawak ini kadang suka bikin saya tertawa-tawa sendiri
jika mengingatnya. Bagaimana saya mengerjai banyak orang dengan restoran
daging nyambik tadi, bagaimana ketidak tahuan saya pada awalnya tentang
hewan ini dan seterusnya.
Krengsengan Nyambik for the Soul? Tergantung anda…..
Kubagikan cerita ini agar kau dapat mengambil hikmahnya.
Bambang Priantono
24 Maret 2006
Ditulis kembali dari mulpid
9 Agustus 2012
Eeekk.. aku bisa ngak boleh deh.. lihatnya saja bisa pengsan aku.. hehe..
ReplyDeleteHihihihi
ReplyDelete