Waktu saya sedang berbelanja (membeli belah) di
sebuah pasar swalayan (supermarket), saya beli quaker oats 500 gram warna merah dan yang menarik saya adalah
tulisan dikemasan depannya yakni oat
segera dan oat instan. Yang saya
yakini bagian segera itu Malaysia punya sedang bagian instan adalah punya Indonesia. Lalu saya baca-baca lagi
bagian belakang kemasannya ada kata lemak
taktepu dan lemak tepu , yang ada kurung bahasa Indonesianya berarti lemak tak jenuh dan lemak jenuh. Selanjutnya ada istilah khasiat dimana dalam bahasa Indonesia padanannya adalah gizi, sedang kata khasiat sendiri dalam bahasa Indonesia secara artinya lebih mengacu
pada jamu-jamuan atau obat-obatan (ubat).
Semisalnya kalimat berikut :
Jamu galian singset
berkhasiat untuk menurunkan berat badan.
Khasiat obat generik tidak kalah dengan obat-obatan paten.
Lalu, kata gizi
contohnya sebagai berikut :
Dewasa ini,
banyak balita di Indonesia
yang mengalami gizi buruk.
Kandungan gizi dalam sepiring nasi pecel sangatlah tinggi.
Sewaktu saya membaca bagian Malaysianya, memang
ada sedikit kelucuan karena kata khasiat tadi….awalnya
saya pikir “emangnya jamu?”. Kemudian juga dalam istilah-istilah ilmiahnya,
terutama dalam zat-zat yang terkandung dalam Quaker Oats tadi, cenderung tetap
pada bentuk aslinya, sedangkan dalam bahasa Indonesia sedikit mengalami
perubahan khususnya dalam pelafalan dan ejaan, misalnya folid acid menjadi asam folat. Kemudian kata instant, yang ini sering memusingkan
karena di Malaysia
kata ini padanannya adalah segera dan barangkali ketepatan yang sama bisa
(boleh) digunakan kata cepat saji.
Apa tidak mungkin Bahasa Indonesia mengganti kata instan tadi dengan cepat saji?
Saya rasa itu mungkin kok, hanya saja kita-kita terlalu malas untuk mencarinya.
Betul, bangsa kita terlalu MALAS untuk
mencari kata-kata asli!!!
Dari kemasan Quaker
Oats itu juga saya mempelajari perbedaan-perbedaan yang kentara antara
bahasa Indonesia dengan Melayu Malaysia.
Disatu sisi Melayu Malaysia
bisa lebih “asli” dibandingkan kita, namun disisi lain bahasa Indonesia justru
bisa jauh lebih “asli”.
Nah, memang ada kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia
soal bahasa baku
bahkan sampai ejaannya pada tahun 70an, bahkan sempat muncul istilah Malindo.
Namun bagi saya, hingga detik ini titik temu itu masih harus terus dicari,
karena kedua bahasa seinduk ini berkembang sendiri-sendiri, terlebih bahasa
Indonesia yang bisa menyerap bahasa-bahasa daerah sekitarnya, demikian pula
bahasa Melayu Malaysia. Masuknya bahasa Inggris dalam kosakata kedua bahasa
juga kadarnya berbeda-beda, bahasa Indonesia masih lebih “sedikit” serapan
bahasa Inggrisnya jika dibandingkan dengan bahasa Melayu Malaysia.
Selain itu, pembakuan antara kedua bahasa ini juga
harus dikajiulang. Barangkali seperti bahasa Inggris (antara gaya
Inggris dan gaya
Amerika) yang menemukan titik temu meski tetap berbeda. Kondisi kedua bahasa
seinduk (Indonesia dan
Melayu Malaysia) ini hampir
sama dengan bahasa Portugis Eropa dan Portugis Brazil yang akhirnya pola penulisannyapun
dijumpai perbedaan. Ini yang perlu disikapi bersama.
Kemasan Quaker
Oats cepat saji yang saya beli ini saja sudah bercerita banyak tentang
jalan keluar mengatasi perbedaan bahasa tersebut. Ada
tanda kurung yang menunjukkan padanan bahasa Indonesianya, dan ini sangat
membantu bagi siapapun yang tidak mengerti bahasa Inggris serta menunjang untuk
memahami bahasa Melayu Malaysia
meski dari segi tulisan. Tidak perlu kita sungkan-sungkan untuk meminjam istilah dari Malaysia jika dirasa perlu, karena bahasa Melayu
Malaysia juga tidak sedikit
mengambil kosakata dari bahasa Indonesia.
Agar bisa semakin kaya lagi, saya kira Pusat
Bahasa Indonesia jangan malas-malas untuk mencari kosakata baru sebagai
pengganti istilah asing, saya tidak ingin bahasa kita semakin tercemar dengan
terlalu banjirnya kata-kata Inggris (biarkan saja pilihan kata saya tidak
ilmiah, yang penting berusaha tetap “Indonesiawi”), yakni sebelum
memasyarakatkan suatu kata baru, sebaiknya perlu diujicobakan dalam dewan
bahasa sendiri dan media juga seharusnya lebih membantu memasyarakatkan
kata-kata baruan asli Indonesia, jangan hanya istilah asing belaka yang
dikenalkan dengan alasan mudah dipahami atau lebih gaya atau keren (gerek; cool). Ingat, bahasa ada
jatidiri suatu bangsa. Meminjam boleh asal jangan berlebihan, apalagi untuk
bahasa baku…itu
saja.
Nah, cerita dari sebungkus Quaker Oats ini barangkali bisa dijadikan renungan tentang benang
merah antara bahasa Indonesia dan Melayu sebagai bahasa seinduk yang
bersaudara.
Bambang Priantono
19 Mei 2006
11 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment