Berburu warung Soto Lamongan
kadang bisa menjadi suatu kesenangan tersendiri. Semasa di Surabaya, saya
sangat hobi mencari warung Soto yang saya anggap enak. Pertama kali saya ketemu
warung Soto di dekat Jalan Gubeng Airlangga Gang IV, tepat di mulut gang yang
mengarah ke Jalan Dharmawangsa, sejak tahun 1995 sampai terakhir kali pada
akhir 2005, saya kadang berkunjung ke warung itu. Yang hanya berupa warung
sederhana dan harganyapun cukuplah bagi kantong mahasiswa seperti saya pada
masa itu.
Semenjak itu saya selalu berusaha
untuk mencari warung yang lebih enak dari ini, dengan harga yang bervariasi
pula.
Disamping itu ada warung soto Pak
Djayus yang berlokasi dekat terminal Bratang, Soto Cat Hijau dekat pertigaan
menjelang viaduk Gubeng, Soto Lamongan di jalan Gubeng Kertajava VII Raya dan
lain sebagainya sudah saya jelajahi dan saya cicipi. Intinya saya maniak soto
gitu loch! Syaratnya juga gampang, telur sebutir utuh, pake toge campur kubis
sehingga, kries-kries enyaaaakkk!!
Namun entah kenapa saya kok tidak
suka dengan Soto Lamongan yang dijual keliling, padahal kalau dipikir-pikir
rasanya juga tidak jauh berbeda. Barangkali dikarenakan tempat dan cara
mencucinya yang saya anggap kurang bersih dan….suka dicuci dengan air yang sama
sehingga nafsu makan saya seketika anjlok. Mirip pepatah, jangan pernah
melihat isi dapur suatu rumah makan. Siapa tahu cara penyajiannya sangat
‘mengerikan’ hehehehe….
Cara pelayanannya juga
bermacam-macam, ada yang ramahnya setengah mati sampai ada juga yang
pelayanannya tidak memuaskan, dari nasinya yang terlalu keras, rasa sotonya
yang hambar, dan ya itu tadi…cara mencuci alat makannya. Apalagi jika tempat
tersebut banyak lalatnya..wah, saya mikir-mikir untuk beli disitu. Namun karena
warung soto yang bersih biasanya mahal, jadi apa boleh buat saya beli dipinggir
jalan.
Salah satu warung soto lamongan
yang paling saya akrabi adalah warung soto yang berada di dalam lingkungan
klinik Kanker, Jalan Kayoon Surabaya. Selain rasanya yang benar-benar enak,
harganya juga sangat terjangkau, ditambah hanya berjalan kaki sebentar dari
kantor saya terdahulu, khususnya pada saat sarapan. Biasanya, saya jam 7 pagi
suka datang ke warung yang populer dengan nama Soto Kanker , bukan
karena dibikin dari tumor atau sel kanker, melainkan lokasinya yang ada
diklinik. Pemiliknya, sebagaimana layaknya penjual Soto Lamongan, tentunya dari
L.A (Lamongan Asli). Lelaki setengah baya yang sudah bertahun-tahun berjualan
disitu ini kabarnya punya istri dua, yang sering menggantikannya berjualan
adalah istri pertamanya dan kadang anaknya jika dia pulang kampung, barangkali
menemui istri satunya.
Saya dengan lelaki tadi sudah
sangat akrab selama bertahun-tahun, tepatnya sejak saya bekerja di SCOMPTEC
Surabaya sekitar 3 tahun. Tapi lucunya, kami tidak saling kenal nama, hanya
saling kenal wajah karena memang kami tidak pernah berkenalan. Hampir tiap pagi
saya pergi ke warung itu sebelum ngantor, seolah sudah menjadi ritual yang
tidak bisa dipisahkan dalam hidup saya sehari-hari.
Sembari makan, kami biasa
bertukar cerita tentang banyak hal. Mulai dari permasalahan Kota Surabaya
dengan segala kegilaannya, dunia sepakbola, berita nasional, sampai dengan
mengobrolkan pekerjaan serta keseharian. Biasanya saya juga sambil minta telur
satu butir utuh, sambal yang banyak hingga air jeruk sehingga rasanya asam-asam
pedas. Namun kadang saya suka mengeluh pada tukang tadi.
“Pak, kok setiap aku taruh
mangkuk soto disini kok miring-miring ya? Mesti kuahnya tumpah melulu? Apa
posisinya kali?”
Si Bapak menjawab : “Iya, soale
tempatnya agak miring, Mas..jadi harap maklum mejanya juga ikutan miring.”
Terpaksa saya minum kelebihan
kuahnya dulu hingga pas dengan ketinggian, karena kadang pak tukang soto tadi
suka memberi kuah berlebihan hingga seperti Bengawan Solo alias
banjir...Namun daripada sekedar makan soto itu, ada satu hal yang saya dapat.
Hablum minannaas juga sangat berperan. Hubungan antara penjual dan pembeli,
bisa menjadi hubungan antar teman. Saya merasa ada keterikatan secara tak
langsung dengan tukang soto kanker ini. Sampai-sampai dia hapal dengan pesenan
saya, yakni tambahan 1 butir telur utuh, koya yang banyak dan sambal yang pedas
plus segelas es teh. Dimakan panas-panas enak sekali pokoknya.
Dari dia juga saya belajar
tentang perjuangan hidup, termasuk hal-hal kecil yang sering dianggap remeh.
Banyak peristiwa yang saya temui selama makan soto ditempatnya, plus nyaris
bertengkar dengan seorang pengunjung karena salah paham. Termasuk dari pengunjung
soto sendiri. Saya bahkan sempat terkejut pada saat makan tiba-tiba waktu
menoleh, ternyata direktur saya sudah duduk disebelah saya. Terus terang saya
langsung serba salah karena ada beliau disitu.
“Pagi, Pak” sapa saya sambil
nyengir
“Pagi” jawab Direktur
“Gimana kabarnya Hari?” Tanya
beliau lagi, beliau menanyakan kabar dosen saya.
“Mmm…baik Pak” jawab saya
“Sering kesini ya Pak?” Saya
kembali bertanya
“Nggak, sesekali saja” jawabnya.
Ternyata kata teman saya, Pak
direktur salah satu penggemar dan pelanggan tetap soto kanker.
Keterikatan itu makin terasa pada saat saya berhenti bekerja pada bulan Maret
2005, dan saya tidak pernah lagi datang ke soto kanker. Namun, pada
bulan Desember 2005 saya tiba-tiba ingin datang ke warungnya tadi sekitar jam
09.00 pagi, saya masih menganggur waktu itu dan masih menunggu hasil lamaran ke
institusi yang saya dapat dari suratkabar beberapa waktu yang lalu.
“Pak, pesen biasane nggih”
“Mas, gimana kabarnya? Lama
banget nggak kesini” kata tukang soto tadi antusias
“Biasa Pak, banyak kegiatan. Aku kan sudah nggak disitu
lagi” sambil memilih tempat duduk.
“Doakan saja Pak, semoga dapet
pekerjaan lagi” kata saya sambil menyeruput kuah soto yang siap saji
“Mugi-mugi Mas segera
dapat yang baru” jawab tukang soto
“Amien”
Sejak itu saya tidak pernah
bertemu lagi, karena kepindahan saya ke Malang
dan belum pernah menjumpai warung soto seenak itu. Keakraban, konflik, berpadu
dalam lezatnya soto dan aroma panasnya yang menggoda. Saya kangen dengan Soto
Kanker itu, dan jika ada waktu yang mengijinkan, ingin sekali berkunjung ke
warung itu lagi, kangen dengan rasanya, kangen dengan obrolannya, kangen dengan
segala kejadian yang ada disana.
Ibaratnya pemuas jiwa dan perut….
18 Maret 2006
Ditulis ulang 10 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment