Bila ke Surabaya jangan lupa
rujak cingur
Rasa khasnya telah
harum namanya
Jika engkau suatu saat
jatuh tersungkur
Bangkit kembali itulah
intinya
Paduan antara yang enak dan yang tidak enak itulah yang
menjadi pemadu khas rujak cingur, salah satu makanan khas Surabaya (dan Jawa Timur). Potongan hidung
sapi (cingur) rebus –padahal cingur kan
kesannya menjijaykan toh, aneka buah dan sayuran dipadukan dalam bumbu kacang
plus petis mengubah satu jenis makanan yang nampak menjijikkan menjadi
kelihatan lezat.
Makan rujak cingur sangatlah nikmat, apalagi jika dimakan
ditepi jalan raya, atau dimanapun kita suka. Diiringi dengan musik jalanan atau
hanya dimakan bersama keluarga. Sangat membuai dan yang menjadi ciri khasnya
adalah rasa petisnya yang menonjol serta cingur (hidung sapi) yang nyaris tidak
kentara karena tertutup oleh sayuran lainnya.
Rasa rujak cingur ini terkadang membuai diri kita hingga ke
awang-awang, kadang dalam kehidupan kita bisa terbuai dengan berbagai macam
kemilau bak para laron desa yang akan mengerubungi setiap lampu yang menyala di
perkotaan, dimana mereka tidak menyadari akan bahaya yang bisa mengancam atau
kesulitan yang menghadang di depannya.
Ini maksudnya bak memakan rujak cingur, tidak selalu semua
bagiannya terasa enak. Saya sendiripun mengalami hal tersebut, seperti beberapa
hari yang lalu, saya mendapat ‘cubitan’ dari koordinator saya, bahwa dari
sekian kelas yang diberi polling, sebagian besar menyatakan bahwa saya kurang
menyenangkan, kurang ini dan kurang itu bahkan ada mungkin beberapa mahasiswa
yang memberi komentar paling pedas, namun saya tidak perlu tahu.
Dari beberapa kelas
yang anda ajar, hanya satu kelas yang menganggap anda terbaik
Mungkin perlu
dikoreksi lagi
Saya percaya anda bisa
mengatasinya dan semuanya saya serahkan pada anda. Karena jika satu kena
masalah, maka semuanya akan kena juga.
Saya sendiri sebenarnya dalam hati sedih, ibarat tanpa
sengaja tergigit oleh cabai pedas yang ada dalam rujak cingur tersebut. Jujur
barangkali airmuka saya langsung berubah, meskipun koordinator meminta saya
untuk tidak berpikir negatif atas semua kejadian itu.
Untuk beberapa saat saya sempat diam (ibaratnya masih
terkena pedasnya cabai), dan menyendiri selama beberapa saat. Namun kemudian
ibarat waktu berjalan ditambah dengan masukan dari teman terdekat yang
ibaratnya air dingin untuk penawar rasa pedas, maka saya sedikit demi sedikit
mulai berpikir lagi. Apa sih yang salah dalam diri saya? Bahkan ada dialog
antara saya dan seorang teman yang intinya begini
Teman : Tidak apa-apa, Pak. Itu bukan persoalan yang besar. Toh hal itu
sifatnya sangat subyektif
Saya
: Iya sih, tapi tak urung membuat
saya drop juga
Teman : Mereka yang menilai
hanya melihat dari satu sisi saja, bukan dari sisi yang lain.
Saya : Hmm,…barangkali saya perlu melakukan pendekatan lagi pada mereka
Teman : Bisa jadi demikian Pak, mungkin mereka perlu didekati. Dan lagipula,
mereka juga masih anak-anak. Saya yakin setiap dosen juga pernah mengalami hal
yang sama, bahkan lebih buruk daripada anda sendiri. Dan saya belajar dari
kejadian buruk yang menimpa anda
Saya : Oh ya?
Teman : Iya, mungkin saat ini saya belum ada masalah. Tapi anda beruntung,
karena menemui masalah itu sekarang, sehingga kalau ada hal serupa tidak akan
kaget lagi. Bisa jadi kelak saya atau dosen lain akan menghadapi hal lebih
buruk dari anda.
Saya : Yah, semoga saja saya bisa mengatasinya.
Teman : Ingat, God allows it happened, Tuhan mengijinkan ini terjadi. Mungkin
Tuhan mempersiapkan sesuatu yang lebih besar lagi dengan menguji anda seperti
ini. Teman saya (dosen baru) kagum dengan anda sebetulnya
Saya : Ah, masak?
Teman : Dia bilang pada saya, kalau dibandingkan dengan kelas lain yang
diobservasinya, kelas saya lebih hidup sehingga menginspirasi dia untuk
mengajar model seperti itu. Jadi, masalah tadi bukanlah akhir segala-galanya,
karena mungkin Tuhan ingin menguji anda dengan cara ini.
Dialog yang terjadi Senin sore itu, setidaknya seperti air
es yang menyejukkan setelah lidah saya ‘kepedasan’ akibat tergigit cabai.
Memang saya kecewa dengan jajak pendapat seperti itu, karena sifatnya sangat
subyektif. Sebagaimana manusia pada umumnya yang kadang hanya melihat dari satu
sudut pandang, lebih-lebih dari mahasiswa yang notabene masih ingin
bersenang-senang. Ditambah dengan kecapaian mereka setelah mengikuti mata
kuliah yang berat sebelumnya. Saya sempat berpikir negatif, karena pada
dasarnya saya orang yang sangat sensitif. Tetapi, sekali lagi saya tersadar
kalau semua itu memang ujian bagi saya untuk memperbaiki diri, dengan
mempertahankan keunikan saya sendiri.
Memperbaiki diri dalam artian berusaha mendekati mereka
secara benar, mendengarkan aspirasi mereka, agar mereka tidak lagi menganggap
saya ini dan itu. Semua masukan bagi saya, insyaallah diterima dengan legowo (lapang dada), namun masukan yang
sifatnya merusak tetap akan saya abaikan. Karena jika saya turuti semuanya,
artinya saya bukan diri saya lagi. Saya kehilangan jati diri saya sebagai
seorang Bambang Priantono. Barangkali
komunikasi inilah yang perlu saya tingkatkan agar mahasiswa merasa senang
berada dikelas saya.
Alhamdulillahnya, dari pahitnya sayuran, pedasnya cabai dan
asamnya nanas dalam rujak cingur ini saya belajar lagi, belajar untuk menangani
kasus yang berbeda-beda. Mungkin saya bukan orang yang sempurna, namun
setidaknya saya ingin semuanya bekerjasama sehingga terjadi sinergi antara
dosen dan mahasiswa. Dari sini juga saya
sadar bahwa Allah Maha Mengijinkan Semuanya terjadi. Kun Fayakun, jadi…jadilah! Sebagaimana Siti Maryam mengandung Nabi Isa
Alaihi Salam.
So, inilah Rujak Cingur for the soul saya (dan juga anda)…ibaratnya rujak
cingur tadi, nikmatnya bumbu rujak, empuknya cingur sapi (kadang getir),
pedasnya cabai, pahitnya sayuran dan asamnya buah-buahan sudah mulai saya
nikmati dengan perasaan lebih tenang. Meskipun rasa sedih itu belum bisa
sepenuhnya menghilang, pasti anda jika dikritik sedih bukan dilubuk hati
terdalam? Anggap saja anda sedang kepedasan pas makan rujak cingur karena
setelahnya pasti rasa enak yang dinikmati.
Yah, itulah romantika…dan God allows it happened
Bambang Priantono
23 Maret 2006
Ditulis Ulang 10 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment