Friday, August 10, 2012

(Catatan SasteraLapar) : Gado-Gado Pembauran


Pembauran itu artinya melebur, campur baur jadi satu, menyesuaikan diri atau apa ada makna lainnya? Ibaratnya lagi, pembauran itu mirip sekali dengan proses masak memasak didapur, seperti membuat gado-gado, bubur ayam, rujak, salad, pecel, atau bubur manado, dimana semua jenis makanan yang pada dasarnya berbeda dileburkan menjadi satu jenis makanan baru. 

Gado-gado misalnya, dalam satu piring terdiri dari potongan wortel, kacang panjang, tahu goreng, kentang rebus, sawi segar, ketimun, ditambah kerupuk, emping belinjo, tempe, plus bawang goreng diikat dengan saus kacang yang enak, dan masih ditambah dengan potongan telur rebus pula. Meski tidak melebur total, namun tetap menjadi wujud yang sedap dipandang dan menggoyang lidah.


Jika dikaitkan dengan pembauran, saya jadi ingat bahwa Amerika Serikat disebut sebagai melting pot, yang jika diterjemahkan kasar artinya “bejana peleburan”, dimana bila dikaji lebih dalam lagi adalah semua bangsa didunia yang mempunyai impian Amerika dibaurkan menjadi satu bangsa, yakni bangsa Amerika. Konsep melting pot ini juga terlihat pada makin derasnya pendatang dari berbagai penjuru dunia, baik dengan cara halal maupun haram, dengan harapan satu…mencapai mimpi disana. Pengembangan konsep ke-Amerika-an juga diterapkan agar setiap warga Amerika merasa memiliki negaranya apapun asal usulnya. Akan tetapi, meski dianggap berhasil, namun masih banyak gumpalan-gumpalan yang tidak berhasil dileburkan dalam mangkok raksasa itu. Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa masyarakat Amerika sendiri tidak semuanya mampu melebur jadi satu.

Disamping itu, ada juga istilah Salad bowl alias mangkok selada, dimana terdapat berbagai bangsa dalam satu wilayah, satu negara, namun dalam kehidupan sehari-harinya tidak terjadi pembauran. Setiap kelompok hanya bergerombol dengan kelompoknya sendiri, pertemuan dengan kelompok lainnya hanya terjadi pada saat tertentu dan bila memang diperlukan. Banyak sekali negara yang keadaan sosialnya seperti salad, hanya diikat oleh minyak salad belaka, bukan saus pulau seribu (thousand island sauce). Salah satu contoh barangkali adalah Suriname, dimana didalam negara itu terdapat 3 etnis utama yakni India, Kreol dan Jawa…satu negara, namun tetap hidup sendiri-sendiri. Demikian pula dengan keadaan di negeri jiran kita Malaysia, dimana antar kelompok baik Melayu, Cina dan India seolah hidup sendiri-sendiri dengan proses peng-Inggris-an yang makin mendesak bahasa Melayu disana. Sehingga saya melihat kesan mangkok selada disana. Sepertinya bercampur, padahal hakikatnya tidak juga.

Sedangkan di Indonesia sendiri, pembauran sudah lama diterapkan. Bahkan dengan politisasi pemerintah Orde Baru, kelompok minoritas terutama Cina harus membaur dengan masyarakat pribumi. Mereka juga sejak tahun 1966 dilarang membangun sekolah Cina, berita-berita berbahasa Cina dan bahkan kebudayaan Cina sendiri juga tidak diperkenankan sampai pasca reformasi. Sebagaimana keturunan India di Sumatera Utara yang dilarang merayakan Deepavali hingga tahun 1998. Namapun (terutama keturunan Cina) harus diganti dengan nama Indonesia, yang pada perkembangannya selain mengambil nama-nama Jawa, juga meng-Indonesia-kan nama Cinanya sendiri. Nasionalisme juga menjadi isu utama bagi masyarakat Cina, karena mereka sudah lama dianggap sebagai kelompok eksklusif oleh warga pribumi dan acap jadi sasaran tindak kekerasan, dipersulit kewarganegaraannya padahal mereka sudah tinggal di negeri ini selama bergenerasi-generasi, hingga perlakuan tak menyenangkan lainnya dari berbagai pihak. Sebagian memang ada yang melarikan diri, namun mayoritas tetap bertahan dan bangkit dari keterpurukannya serta semangat untuk menjadi bagian dari anak negeri. 

Meskipun mulai ada kebangkitan budaya Cina di Indonesia, namun secara batiniyah mayoritas mereka sudah tidak terikat lagi dengan tanah leluhurnya. Bahkan bisa jadi pembauran menampakkan hasilnya, meski dalam bentuk begini suku bolehlah Cina/ Tionghoa, namun negara tetaplah Indonesia. Sebenarnya juga tanpa pembauran sistematis oleh Orbapun, etnis Cina sudah mengalami pembauran yang cukup besar. Mayoritas mereka sudah tidak bisa berbahasa Cina, malah khususnya orang Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur menggunakan bahasa Jawa, Melayu Peranakan Cina (dialek Semarang atau Surabaya yang tercampur Jawa), atau bahasa Madura bahkan. Pola makannyapun sudah tidak begitu Cinawi lagi, merekapun suka makan soto, pecel, gado-gado dan karedok leunca, bahkan menyumbang dari segi budaya yang memperkaya khazanah hidup bangsa, ibaratnya dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung

Sekali lagi, pembauran ibaratnya memasak. Tergantung siapa kokinya, jika kokinya, semisal menyatukan antara coklat pahit dengan coklat putih untuk menghasilkan permen coklat dwiwarna. Warnanya beda, namun rasanya tetap sama…coklat. Atau membuat bubur manado, dimana semua bahan sayuran lebur dalam samudera bubur, meski tidak semuanya hilang, jika mengikuti konsep melting pot masih ada gumpalannya. Bisa jadi juga si koki hanya membuat salad, mencampurkan begitu saja aneka sayur dan buah dan menambahkan minyak salad sekedarnya saja. Kesimpulannya, tergantung kebijakan dan keadaan sosial masyarakat setempat..karena itulah kokinya.

Disamping itu, pembauran juga akan berjalan jika masing-masing pihak dalam suatu wilayah sudah merasa saling memiliki daerah tempat dia tinggal dan jika masing-masing memang ingin menyatukan diri agar dapat diterima oleh kaum dia bermukim juga. Namun yang sering menjadi hambatan adalah sikap individualis sebagai akibat politik pecah belah (devide et impera) yang terjadi di masa-masa penjajahan, sehingga prasangka masih melekat erat di masing-masing pihak. Jadi jika ingin pembauran berlangsung sukses, diperlukan sikap tidak berpurbasangka terhadap golongan lain.

Kalau di Indonesia sendiri sih, sebenarnya lebih mirip sepiring gado-gado ketimbang mangkok salad…dimana berbagai suku bangsa diibaratkan sebagai sayurannya, sedangkan bahasa Indonesia, kebangsaan Indonesia, tanah air Indonesia diibaratkan sebagai saus kacangnya. Tetap mempertahankan jatidirinya masing-masing, apapun sukunya (Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Papua, Bugis, Cina, Arab, dst), budayanya, agamanya, pemahamannya, namun tetap dalam satu pandangan…pandangan kebangsaan sebagai seorang warga negara Indonesia, yang memprihatinkannya kian meluntur terutama di kalangan anak muda sekarang sebagai dampak dari globalisasi yang berusaha menjadikan dunia sebagai bejana raksasa. Proses pembauran tetap berjalan seiring zaman, dan akan berjalan secara alami (semulajadi kalau istilah Malaysianya), apa dalam bentuk melting pot ataukah salad bowl.

Pembauran itu ibaratnya sepiring gado-gado
Tidak bisa dipaksakan menyatu dan meleleh
Unsur-unsur pembentuknya tetap berbeda
Namun bersatu karena saus kacangnya
Yang harus dipertahankan bestari
Agar tetap lezat dan bergizi….


Bambang Priantono
31 Maret 2006
11 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment