Thursday, August 9, 2012

(Catatan SasteraLapar) : Soto Lamongan For The Soul 2

Berburu warung Soto Lamongan kadang bisa menjadi suatu kesenangan tersendiri. Semasa di Surabaya, saya sangat hobi mencari warung Soto yang saya anggap enak. Pertama kali saya ketemu warung Soto di dekat Jalan Gubeng Airlangga Gang IV, tepat di mulut gang yang mengarah ke Jalan Dharmawangsa, sejak tahun 1995 sampai terakhir kali pada akhir 2005, saya kadang berkunjung ke warung itu. Yang hanya berupa warung sederhana dan harganyapun cukuplah bagi kantong mahasiswa seperti saya pada masa itu. 


Semenjak itu saya selalu berusaha untuk mencari warung yang lebih enak dari ini, dengan harga yang bervariasi pula.

Disamping itu ada warung soto Pak Djayus yang berlokasi dekat terminal Bratang, Soto Cat Hijau dekat pertigaan menjelang viaduk Gubeng, Soto Lamongan di jalan Gubeng Kertajava VII Raya dan lain sebagainya sudah saya jelajahi dan saya cicipi. Intinya saya maniak soto gitu loch! Syaratnya juga gampang, telur sebutir utuh, pake toge campur kubis sehingga, kries-kries enyaaaakkk!!

Namun entah kenapa saya kok tidak suka dengan Soto Lamongan yang dijual keliling, padahal kalau dipikir-pikir rasanya juga tidak jauh berbeda. Barangkali dikarenakan tempat dan cara mencucinya yang saya anggap kurang bersih dan….suka dicuci dengan air yang sama sehingga nafsu makan saya seketika anjlok. Mirip pepatah, jangan pernah melihat isi dapur suatu rumah makan. Siapa tahu cara penyajiannya sangat ‘mengerikan’ hehehehe….

Cara pelayanannya juga bermacam-macam, ada yang ramahnya setengah mati sampai ada juga yang pelayanannya tidak memuaskan, dari nasinya yang terlalu keras, rasa sotonya yang hambar, dan ya itu tadi…cara mencuci alat makannya. Apalagi jika tempat tersebut banyak lalatnya..wah, saya mikir-mikir untuk beli disitu. Namun karena warung soto yang bersih biasanya mahal, jadi apa boleh buat saya beli dipinggir jalan.

Salah satu warung soto lamongan yang paling saya akrabi adalah warung soto yang berada di dalam lingkungan klinik Kanker, Jalan Kayoon Surabaya. Selain rasanya yang benar-benar enak, harganya juga sangat terjangkau, ditambah hanya berjalan kaki sebentar dari kantor saya terdahulu, khususnya pada saat sarapan. Biasanya, saya jam 7 pagi suka datang ke warung yang populer dengan nama Soto Kanker , bukan karena dibikin dari tumor atau sel kanker, melainkan lokasinya yang ada diklinik. Pemiliknya, sebagaimana layaknya penjual Soto Lamongan, tentunya dari L.A (Lamongan Asli). Lelaki setengah baya yang sudah bertahun-tahun berjualan disitu ini kabarnya punya istri dua, yang sering menggantikannya berjualan adalah istri pertamanya dan kadang anaknya jika dia pulang kampung, barangkali menemui istri satunya. 

Saya dengan lelaki tadi sudah sangat akrab selama bertahun-tahun, tepatnya sejak saya bekerja di SCOMPTEC Surabaya sekitar 3 tahun. Tapi lucunya, kami tidak saling kenal nama, hanya saling kenal wajah karena memang kami tidak pernah berkenalan. Hampir tiap pagi saya pergi ke warung itu sebelum ngantor, seolah sudah menjadi ritual yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup saya sehari-hari. 

Sembari makan, kami biasa bertukar cerita tentang banyak hal. Mulai dari permasalahan Kota Surabaya dengan segala kegilaannya, dunia sepakbola, berita nasional, sampai dengan mengobrolkan pekerjaan serta keseharian. Biasanya saya juga sambil minta telur satu butir utuh, sambal yang banyak hingga air jeruk sehingga rasanya asam-asam pedas. Namun kadang saya suka mengeluh pada tukang tadi.

“Pak, kok setiap aku taruh mangkuk soto disini kok miring-miring ya? Mesti kuahnya tumpah melulu? Apa posisinya kali?”
Si Bapak menjawab : “Iya, soale tempatnya agak miring, Mas..jadi harap maklum mejanya juga ikutan miring.”

Terpaksa saya minum kelebihan kuahnya dulu hingga pas dengan ketinggian, karena kadang pak tukang soto tadi suka memberi kuah berlebihan hingga seperti Bengawan Solo alias banjir...Namun daripada sekedar makan soto itu, ada satu hal yang saya dapat. Hablum minannaas juga sangat berperan. Hubungan antara penjual dan pembeli, bisa menjadi hubungan antar teman. Saya merasa ada keterikatan secara tak langsung dengan tukang soto kanker ini. Sampai-sampai dia hapal dengan pesenan saya, yakni tambahan 1 butir telur utuh, koya yang banyak dan sambal yang pedas plus segelas es teh. Dimakan panas-panas enak sekali pokoknya.

Dari dia juga saya belajar tentang perjuangan hidup, termasuk hal-hal kecil yang sering dianggap remeh. Banyak peristiwa yang saya temui selama makan soto ditempatnya, plus nyaris bertengkar dengan seorang pengunjung karena salah paham. Termasuk dari pengunjung soto sendiri. Saya bahkan sempat terkejut pada saat makan tiba-tiba waktu menoleh, ternyata direktur saya sudah duduk disebelah saya. Terus terang saya langsung serba salah karena ada beliau disitu.
“Pagi, Pak” sapa saya sambil nyengir
“Pagi” jawab Direktur
“Gimana kabarnya Hari?” Tanya beliau lagi, beliau menanyakan kabar dosen saya.
“Mmm…baik Pak” jawab saya
“Sering kesini ya Pak?” Saya kembali bertanya
“Nggak, sesekali saja” jawabnya.
Ternyata kata teman saya, Pak direktur salah satu penggemar dan pelanggan tetap soto kanker. Keterikatan itu makin terasa pada saat saya berhenti bekerja pada bulan Maret 2005, dan saya tidak pernah lagi datang ke soto kanker. Namun, pada bulan Desember 2005 saya tiba-tiba ingin datang ke warungnya tadi sekitar jam 09.00 pagi, saya masih menganggur waktu itu dan masih menunggu hasil lamaran ke institusi yang saya dapat dari suratkabar beberapa waktu yang lalu.
“Pak, pesen biasane nggih
“Mas, gimana kabarnya? Lama banget nggak kesini” kata tukang soto tadi antusias
“Biasa Pak, banyak kegiatan. Aku kan sudah nggak disitu lagi” sambil memilih tempat duduk.
“Doakan saja Pak, semoga dapet pekerjaan lagi” kata saya sambil menyeruput kuah soto yang siap saji
Mugi-mugi Mas segera dapat yang baru” jawab tukang soto
“Amien” 

Sejak itu saya tidak pernah bertemu lagi, karena kepindahan saya ke Malang dan belum pernah menjumpai warung soto seenak itu. Keakraban, konflik, berpadu dalam lezatnya soto dan aroma panasnya yang menggoda. Saya kangen dengan Soto Kanker itu, dan jika ada waktu yang mengijinkan, ingin sekali berkunjung ke warung itu lagi, kangen dengan rasanya, kangen dengan obrolannya, kangen dengan segala kejadian yang ada disana.  Ibaratnya pemuas jiwa dan perut….


Bambang Priantono
18 Maret 2006
Ditulis ulang 10 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment